Headlines

SKP2 Kasus Mujianto di Nilai Dapat Cederai Wibawa Pengadilan


(TO - Medan) - Setelah berulang kali ditunda, sidang praperadilan SKP2 kasus dugaan penipuan Mujianto akhirnya digelar di Pengadilan Negeri Medan, Senin (5/8/2019). Hakim tunggal Ali Tarigan tetap melanjutkan agenda persidangan meski tidak dihadiri Kejaksaan Agung selaku Termohon I.

Dalam persidangan, pemohon Armen Lubis melalui kuasa hukumnya Ismayani SH, MH dari Law Office Arizal SH, MH memaparkan sejumlah alasan hukum pihaknya mengajukan gugatan praperadilan terhadap Kejagung (Termohon I), Kejatisu (Termohon II) dan Poldasu (Turut Termohon). Selain demi terwujudnya kepastian hukum, kemanfaatan dan keadilan, juga untuk penegakan legalitas prosedural beracara dalam hukum.

“Praperadilan diajukan untuk menguji SKP2 yang diterbitkan Kejatisu atas kasus dugaan penipuan tersangka Mujianto yang sebelumnya sudah mereka (Kejatisu) nyatakan sendiri lengkap memenuhi unsur formil dan materil (P21) melanggar ketentuan Pasal 378 dan atau Pasal 372 KUHPidana hingga layak dilimpahkan ke pengadilan", ucap Ismayani saat ditemui usai persidangan.

Permohonan praperadilan SKP2 itu sangat beralasan. Sebab, kasus dugaan penipuan sebesar Rp.3 miliar, dengan tersangka Mujianto alias Anam dan stafnya Rosihan Anwar tersebut sudah setahun lebih tidak dilimpahkan ke pengadilan. Padahal, perkara penipuan itu sudah dinyatakan lengkap (P21) oleh Kejatisu sejak 7 April 2018 silam. Bahkan, tersangka Mujianto dan Rosihan berikut berkas perkaranya telah diserahterimakan dari Ditreskrimum Poldasu kepada Kejaksaan Tinggi Sumatera Utara. 
Anehnya, Kejatisu malah bersikap inkonsitensi atas kasus Mujianto itu dengan menerbitkan SKP2 Nomor: Print-01/N.2.4/Epp.1/03/2019 tanggal 12 Maret 2019.

“Kita ingin prosedural acara penegakan hukum yang sudah dinyatakan lengkap (P21), tetap bermuara pada putusan pengadilan. Penerbitan SKP2 dari kasus yang sudah P21 memenuhi unsur formil dan materil, akan menjadi preseden buruk dalam proses penegakan hukum. Bisa saja nanti ke depannya, perkara-perkara lain akan terhenti di SKP2 tanpa harus ke pengadilan. Kita berharap SKP2 dari kasus yang sudah P21, tidak akan ada lagi ke depannya", tutur Ismayani.

Menurut Ismayani, praperadilan dilakukan karena SKP2 Mujianto dinilai janggal. Sebab, kasus ini seharusnya dilimpahkan ke pengadilan setelah 20 hari dinyatakan lengkap atau P21. Namun, dalam perkara Mujianto ini, kasusnya lebih setahun sudah P21 tidak juga dilimpahkan ke pengadilan. Anehnya, Kejatisu malah menerbitkan SKP2 dari kasus yang sudah setahun lebih dinyatakan P21 itu. 

“Atas dasar itulah, klien kami mengajukan praperadilan agar kejaksaan kembali kepada tugas pokok dan fungsinya sebagai penuntut, bukan sebagai pemutus perkara", ujarnya.

Senada dengan Ismayani, Direktur Perjuangan Politik Hukum dan Ekonomi (PPHE) Jayamuddin Barus juga menyesalkan SKP2 kasus penipuan yang sudah dinyatakan P21. Penerbitan SKP2 itu, ucap Barus, sebagai bentuk sikap inkonsistensi. 

“Kasus penipuan ini sudah lama P21. Yang menyatakan kasus ini P21 adalah Kejatisu sendiri. Bahkan, perkaranya telah P22 diserahkan Poldasu. Tiba-tiba Kejatisu menerbitkan SKP2, jelas sikap kejaksaan itu bentuk inkonsistensi", tegas Barus beberapa waktu lalu.

Pendapat serupa sebelumnya juga sempat diutarakan Ketua Umum Advokasi Muda dan Hukum Indonesia (AMDHI), M Azmi Hadly SH MHum. Menurutnya, kasus Mujianto yang sudah P21 harus dilimpahkan ke pengadilan, demi terwujudnya kepastian, keadilan, kemanfataan hukum, bukan dihentikan melalui SKP2. 

“Penerbitan SKP2 dari kasus pidana penipuan yang sudah P21 dan P22, sangat mencederai penegakan hukum. Kejatisu sebagai institusi penegak hukum, janganlah mencederai hukum. Apa sih susahnya melimpahkan perkara Mujianto ke pengadilan, kan sudah P21. Biarkanlah pengadilan yang memutus", tukasnya.

Pandangan yang sama turut dilontarkan pemerhati hukum Sumatera Utara, Agus Harahap. Menurutnya, sangat sulit ditemukan dalil hukum yang membenarkan penerbitan SKP2 dari kasus Mujianto yang sudah P21. 

“Dalam hukum acara proseduralnya sudah jelas. Setiap yang dinyatakan lengkap memenuhi unsur formil dan materil, harus dilimpahkan ke pengadilan, bukan dihentikan melalui SKP2. Apa landasan hukum yang membolehkan SKP2 kasus yang sudah P21 dari perkara dugaan penipuan tersangka Mujianto ini? Saya belum menemukannya", ujarnya.

Bila hakim tunggal praperadilan menolak gugatan pemohon atas SKP2 Mujianto, sebut Agus, sama halnya dengan membiarkan hukum ditentukan atau diputuskan oleh penuntut. 

“Bila hakim prapid membuat putusan dengan menilai substansi perkara, bisa saja gugatan praperadilan pemohon (Armen Lubis) ditolak. Sebaliknya, bila melihat azas prosedural legalitas hukum, kasus ini mesti dilimpahkan ke pengadilan. Perlu diingat, praperadilan itu terkait prosedural, bukan substansial", jelasnya. 

Kasus dugaan penipuan Mujianto itu awalnya dilaporkan Armen Lubis ke Ditreskrimum Polda Sumatera Utara. Laporan itu ditindaklanjuti polisi secara professional dan proporsional dengan melakukan penyelidikan dan penyidikan. Hasilnya, polisi menetapkan Mujianto dan stafnya Rosihan Anwar sebagai tersangka melanggar ketentuan Pasal 378 dan atau Pasal 372 KUHPidana. Poldasu juga sudah melakukan penahanan terhadap Mujianto dan Rosihan. 

Selanjutnya perkara dugaan penipuan itu dinyatakan lengkap (P21) oleh Kejatisu mulai 7 April 2018 silam. Pihak Kejatisu menyatakan perkara itu sudah memenuhi ketentuan formil dan materil hingga layak disidangkan ke pengadilan. 

Mirisnya, Mujianto sangat tidak kooperatif sehingga Poldasu sejak 19 April 2018 menetapkannya dalam Daftar Pencarian Orang (DPO). Poldasu juga menerbitkan surat pencekalan Mujianto yang ditujukan kepada Dirjen Imigrasi.
Setelah tiga bulan DPO, pada 23 Juli 2018 pihak Imigrasi Bandara Soekarno Hatta berhasil menangkap dan menyerahkan Mujianto kepada Poldasu. 

Selanjutnya, 26 Juli 2018, penyidik Poldasu menyerahkan Mujianto dan Rosihan Anwar kepada Kejatisu, untuk diproses secara hukum di pengadilan.
Hanya beberapa jam setelah penyerahan itu, JPU Kejati melepaskan Mujianto dengan jaminan uang sebesar Rp.3 miliar. 

Namun ironinya, setelah setahun tak dilimpahkan, Kejatisu malah menerbitkan SKP2 hingga memaksa Armen Lubis mengajukan praperadilan terhadap Kejagung (Termohon I), Kejatisu (Termohon II) dan Poldasu (Turut Termohon).

(red)

Targetoperasi.com Copyright © 2017

Gambar tema oleh Bim. Diberdayakan oleh Blogger.