Headlines

Keputusan PN Lubuk Pakam Dinilai Cederai Hukum, Komnas PA Minta Hakim Diperiksa


targetoperasi.com - Keputusan Pengadilan Negeri (PN) Lubukpakam, membebaskan Abdi Duranta Ginting (25) terdakwa kasus kekerasan seksual terhadap FG (14) yang notabenenya anak dibawah umur, keduanya warga Desa Bekukul, Kecamatan Namorambe, Kabupaten Deliserdang dinilai  mencederai hukum dan merendahkan harkat dan martabat kemanusiaan khususnya martabat anak di Indonesia.

Kasus kejahatan seksual yang tergolong sadis dan diluar akal sehat kemanusiaan yang menimpa korban FG diyakini secara penuh oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU) melalui bukti-bukti hukum yang disampai penyidik Polri dan melalui fakta-fakta hukum selama persidangan, sehingga JPU menuntut terdakwa Abdi Suranta Ginting dengan ancaman hukuman 13 tahun.


Menurut JPU Rahmaniar Tarigan diyakini bahwa saat terdakwa melakukan perbuatan bejatnya dengan cara memaksa korban dengan ancaman kekerasan dan intimidasi untuk melakukan hubungan seksual terhadap anak sehingga membuat korban menanggung rasa malu,  akibatnya korban mengakhiri hidupnya dengan cara bunuh diri minum racun rumput dirumahnya, sebelum korban mendengar putusan hakim yang dibacakan Majelis hakim Rabu (23/08/2017).

Oleh karena fakta hukum itulah JPU berkeyakinan menuntut terdakwa dengan pasal 81 junto pasal 76D UU RI No. 35 Tahun 2014 tentang perubahan dari UU RI No. 23 tahun 2002 tentang Perlindungan anak dengan ancaman hukuman 15 tahun pidana penjara. Namun bertolak belakang, majelis hakim justru mengabaikan fakta-fakta hukum yang sudah diyakini JPU sebagai bukti-bukti hukum yang lengkap.

Untuk menegakkan hukum dan demi kepentingan terbaik anak serta untuk memutus mata rantai kejahatan seksual terhadap anak, Komisi Nasional Perlindungan Anak sebagai lembaga pelaksana tugas dan fungsi keorganisasian dari Perkumpulan Lembaga Perlindungan Anak (LPA) Pusat yang memberikan pembelaan dan perlindungan anak di Indonesia, mendesak dan mendukung Kejaksaan Negeri Lubukpakam untuk segera melakukan kasasi ke Mahkamah Agung (MA) untuk membuktikan bahwa terdakwa Abdi Suranta Ginting adalah sungguh-sungguh pelakunya dan menguji pertimbangan hakim yang mendasari putusannya adalah keliru dan mencederai hukum dengan memperkuat fakta-fakta yuridis guna meyakinkan hakim agung.

Dorongan Kasasi ini juga salah satu bentuk untuk menegakkan dan menegaskan hukum yang berkeadilan bagi korban dan tidak ada kata kompromisi bagi predator dan moster kejahatan seksual terhadap anak di Indonesis.

Demikian disampaikan Arist Merdeka Sirait Ketua Umum Komisi Nasional Perlindungan Anak Indonesia kepada media melalui keterangan pers onlinenya Jumat, (25/08/2017) di Jakarta.

Arist Merdeka Sirait menegaskan dan menyesalkan bahwa keputusan Majelis Hakim membebaskan terdakwa dari segala tuduhan padahal penyidik Polri dan JPU sudah sangat meyakinkan dan bersusah paya dan bekerja dengan keras untuk mencari alat-alat bukti yang meyakinkan adalah bentuk pengabaian dan mencederai ketentuan dan semangat dari UU RI No. 17 tahun 2016 tentang penerapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (PERPU) No. 01 tahun 2016 tetang perubahan kedua UU RI No. 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, UU RI No. 35 Tahun 2014 dan Intruksi Presiden No. 05 Tahun 2014 tentang Gerakan Nasional Anti Kejahatan Seksual terhadap Anak (GN-AKSA) serta Peraturan Mahkamah Agung (Perma) yang menjadi rujukan dalam penanganan perkara-perkara kekerasan terhadap anak.

Seharusnya Majelis Hakim bertindak untuk menegakkan hukum. Bukan justru membebaskan para predator-predator kejahatan seksual hanya karena dengan alasan tidak cukup saksi. Pertanyaan kita semua khususnya kepada hakim, apakah terjadi perkosaan jika ada saksi yang melihat atau yang menonton?

Untuk membuktikan faktor pertimbangan hakim dalam memutus bebas terdakwa Abdi Suranta, dan membantu upaya kasasi JPU ke MA dan meyakinkan bukti-bukti yuridis kepada hakim agung, Komnas Perlindungan Anak sebagai institusi representasi perlindungan anak segera menerjunkan Quick Investigator Lembaga Perlindungan Anak (LPA) Kabupaten Deliserdang dan dukungan LPA Propinsi Sumatera Utara untuk mencari dan menemukan bukti yang meyakinkan atas pertimbangan hakim tersebut.

Disatu sisi pertimbangan majelis hakim yang menyebutkan bahwa selain tidak ditemukan Legal justice dan social justice dalam memeriksa perkara kejahatan seksual ini, Majelis hakim justru lebih mempertimbangkan keterangan terdakwa yang menyebutkan bahwa korbanlah yang sering menggoda terdakwa dan korban pulalah yang sering dalam kondisi mabuk padahal terdakwalah yang mempunyai tabiat mabuk-mabukan.

Majelis hakim sesungguhnya harus mempertimbangkan hukum bahwa melakukan hubungan seksual terhadap anak tidak dikenal kata suka sama suka. Dengan demikian jika terjadi hubungan seksual terhadap anak dengan bujuk rayu dan tipu muslihat maka pelaku oleh hukum telah dikategorikan melakukan perbuatan tercela dan merupakan tindak pidana.

Ironisnya Majelis Hakim yang terdiri dari 3 orang hakim perempuan justru tidak sensitif terhadap hak anak dan perempuan dalam menjatukan vonis bebas terhadap terdakwa.

Atas keyakinan, panggilan dan sensitif terhadap derita anak korban perkosaan justru bisa dilakukan sebagai pertimbangan hakim dalam memutus perkara kejahatan seksual khususnya terhadap anak.

Melihat kejanggalan atas putusan majelis hakim ini,  Komnas anak selain mengukung upaya Kasasi Kejari Lubukpakam ke MA, Komnas Perlindungan Anak segera  meminta Komisi Yudisial untuk memeriksa 3 orang majelis hakim yang membebaskan terdakwa Abdi Suranta, dan dalam waktu dekat akan bertemu dengan Ketua Pengadilan Lubukpakam sebelum memberikan laporan kepada Ketua Mahkamah Agung.

"Cara-cara dan pertimbangan hakim yang memeriksa perkara kejahatan seksual terhadap anak tidak sensitif dan tidak mempunyai pesprektif terhadap masa depan anak-anak dan ini  tidak bisa dibiarkan", ungkap Arist Merdeka Sirait menegaskan. (red/ril).

Targetoperasi.com Copyright © 2017

Gambar tema oleh Bim. Diberdayakan oleh Blogger.